Religion and Social Studies Malang
Agama Empiris

HOME

Pengurus
Kontak Kami
Agenda
Profil 2
Agama Empiris
Profil Aktivis
Links
Publikasi

Agama dalam Pergumulan Realitas Sosial

Islam Generik dan Genetik: Sebuah Gagasan Awal

MENCERMATI perkembangan wacana ke-Islaman di tanah air akhir-akhir ini sangat menarik. Dari perspektif epistemologis, lahirnya perbedaan wacana dalam memahami Islam itu, tidak bisa dilepaskan dari universalitas Islam sebagai sebuah ajaran. Islam, tulis Abdul Munir Mulkhan, adalah produk lokal masyarakat Arab. Karena ia turun dalam kondisi faktual masyarakat yang bersifat tribalistik. Nilai-nilai lokal itu kemudian ditransendensikan dan membentuk satu nilai universal Islam.

Dalam kerangka teori ini, maka lahirnya penafsiran yang berbeda terhadap Islam bisa difahami sebagai sebuah upaya untuk mencari pembenaran lokal terhadap nilai-nilai Islam yang telah menjadi transenden dan universal itu. Sayangnya, masing-masing penafsiran memiliki kecenderungan untuk membenarkan dirinya sendiri dan dengan begitu menafikan kemungkinan kebenaran kelompok lain.

Kondisi seperti ini bisa mengarahkan kepada satu pemahaman Islam yang genetik, yakni satu pemahaman yang sempit, primordial, sektarian dan partikular. Benar, bahwa Islam adalah produk universalitas sekaligus partikularitas. Tetapi partikularitas itu sebenarnya berakar dari universalitas. Karena itu, menganggap satu penafsiran partikular paling benar atas penafsiran partikular yang lain menjadi tidak relevan.

Islam Generik, nampaknya bisa diwacanakan sebagai sebuah alternatif untuk memecahkan kebuntuan itu. Islam Generik adalah satu pemahaman Islam yang tidak menekankan perbedaan bentuk, tetapi menekankan pada keabadian nilai. Nilai-nilai generik itulah yang mengikat seluruh penafsiran genetik itu dalam satu bingkai transendental yang agung. Dengan begitu, penafsiran teks suci dengan metode hermeneutika menjadi tidak terhindarkan. Dari titik hermeneutik inilah akan muncul pemahaman bahwa Islam sebagai sebuah Great Tradition kadang-kadang harus diterjemahkan secara tidak sama pada level Little Tradition.

Islam, sebagai sebuah entitas, harus difahami dengan kata sifat-kata sifat tertentu. Ketika Islam dibiarkan apa adanya, menjadi satu kata yang mandiri, mungkin akan muncul pertanyaan: Islam yang mana? Maka, penyifatan Islam dengan berbagai kata sifat tertentu itu sah, karena dengan begitulah, justru Islam itu menunjukkan universalitasnya. Tapi jangan lantas difahami, bahwa Islam itu seperti --meminjam bahasa Komarudin Hidayat-- "rumah plastik". Bentuknya memang rumah, tetapi bisa dibentuk menjadi apa saja sesuai selera orangnya. Analoginya, Islam itu bisa ditafsirkan sesuai dengan selera para pemeluknya.

Meskipun muncul skeptisisme bahwa penyifatan itu justru mereduksi nilai-nilai transenden Islam, karena penyifatan itu sangat bias dengan kepentingan. Sekadar beranalogi, penisbatan kata Islam dengan kata sifat apapun, bisa kita ibaratkan sebagai anak panah dan Islam sebagai pijakan nilai adalah busurnya. Toh, anak panah itu tidak mungkin melesat, kalau tidak ditarik dari busurnya.

Nah, di sinilah harus didudukkan, bahwa busur itu adalah Islam yang otentik itu, atau sumber ajaran Islam yang syar'i itu. Sementara anak panah adalah "strategi" orang untuk membumikan Islam yang berkaitan sasaran tembak tertentu. Tegasnya, busur itu adalah Islam, sementara anak panah itu adalah sifat seperti liberal, literal, transformatif, atau bahkan generik dan genetik. Di luar itu semuanya, penggunaan dua istilah ini sebenarnya bukan merupakan satu kategorisasi yang mutlak. Tetapi lebih sebagai alat bantu analisis untuk memetakan pola ber-Islam manusia. Karena itu, jika dua istilah ini difahami sebagai sebuah kategorisasi mutlak yang rigid maka akan ada pemahaman yang bisa saja keliru.

Istilah generik dan genetik sebenarnya diilhami oleh Johan Galtung, ketika dia mengungkapkan dua jenis kekuasaan. Bagi Galtung, dilihat dari jangkauannya, kekuasaan itu ada yang generik dan genetik. Istilah pertama merujuk kepada kekuasaan yang berorientasi pada kemakmuran bersama, sementara yang kedua merujuk kepada satu konteks kekuasaan untuk kelompok tertentu. Jadi, istilah genetik tidak merujuk kepada sebuah istilah medis-biologis, tetapi semata-mata untuk menyatakan sesuatu yang bersifat sangat sempit dan bersifat primordial. Jika dirujuk secara kebahasaan, memang istilah genetika, merujuk kepada keturunan. Justru dari situlah kemudian diderivasi menjadi satu pemahaman Islam untuk kelompok tertentu.

Untuk memahami lebih jauh tentang hal ini, penting untuk mengadopsi pendekatan strukturalisme ala Saussure yang menawarkan satu pemahaman bahasa dengan mengajukan struktur yang berpasangan: signifiant-signifie, dalam bahasa Prancis, atau signifier dan signified, dalam bahasa Inggris; lalu parole dan langue dan sinkroni dan diakroni. Signifiant adalah tanda atau bunyi yang bermakna, sehingga dia merupakan aspek material dari bahasa: apa yang didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Signifie adalah gambaran mental, pikiran dan konsep. Dua unsur ini tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Satu signifiant tanpa signifie tidak berarti apa-apa. Sebaliknya, satu signifie tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari signifiant. Signifiant dan signifie, tulis Saussure, seperti dua sisi sehelai kertas.

Lalu tentang parole dan langue. Parole adalah pemakaian bahasa yang individual. Sementara langue adalah bahasa yang merupakan milik bersama dari satu golongan bahasa tertentu. Dalam pandangan ini, bahasa sebenarnya bukan merupakan substansi, tetapi bentuk saja. Yang penting di dalamnya adalah aturan-aturan yang mengkonstitusikannya, susunan unsur-unsurnya dalam hubungan satu sama lain. Sementara yang terakhir adalah sinkroni dan diakroni. Istilah diakroni mengatakan bahwa memahami bahasa harus menggunakan penelusuran historis. Sementara sinkroni adalah penelusuran yang sama sekali lepas dari penelusuran historis. Saussure meyakini bahasa harus ditelusuri secara ahistoris (sinkronis). Dalam konteks Islam Generik dan Genetik ini, saya menggunakan strukturalisme Saussure.

Kedua istilah ini harus difahami dalam konteks sinkroni yang ahistoris. Artinya, saya tidak merujuk kepada sejarah Darwin yang menggunakan istilah genetik untuk konteks-konteks biologis. Lalu, genetik juga menjadi hal yang tidak bermasalah, ketika menggunakan paradigma signifiant-signifie tadi. Karena yang penting adalah bukan bahasa sebagai tanda melainkan sistem atau ide yang mengkonstitusikannya. Generik dan genetik sebagai sebuah tanda bahasa bisa tidak berarti apa-apa ketika tidak memahami ide yang mengkonstitusikannya. Wa Llahu a'lam bi al-Shawwab.

Dimensi Filsafat dalam Wahyu

POSISI wahyu dalam Islam sangatlah sentral. Tak seorangpun yang mampu membantah kenyataan ini. Berdasarkan kondisi historis maupun normatif, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasar relasi antara manusia dengan realitas transenden yang diyakininya. Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dengan Tuhannya.

Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan (Bakar, 1997). Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Atas dasar asumsi inilah, tulisan ini bermaksud mengkaji dimensi-dimensi filsafat dalam wahyu.

Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan (Bahm, 1990). Kedua aliran ini, dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber pengetahuan. Islam sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak memihak atau menolak salah satu aliran itu secara ekstrim.

Bahkan, Islam menawarkan satu konsep epistemologi moderat yang sering disebut oleh Kuntowijoyo (1997) sebagai epistemologi relasional. Konsep ini, jelas Kunto, bermaksud menggabungkan akal, pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan dialektik yang tidak pernah putus. Wahyu sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan kemanusiaan, lahir dalam satu kondisi historitas tertentu (Zaid, 2001). Tesis ini juga dengan sangat optimis dipegang oleh Thaha Hussein yang membagi wahyu kepada dua dimensi: The First Massage di satu sisi, dan The Second Massage, di sisi lain.

Semua penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi persoalan kemanusiaan. Intervensi akal menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam menerjemahkan "kemauan" wahyu yang seringkali atau bahkan selalu turun dengan rumusan-rumusan bahasa langit. Intervensi akal kemanusiaan inilah yang menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitas historis yang dihadapi. Peristiwa tahkim yang mengakhiri peperangan kelompok Ali dan Muawiyah, yang kemudian diselewengkan oleh Muawiyah sebagai bentuk penyerahan kekuasaan oleh Ali kepadanya, menjadi satu bukti historis bahwa wahyu sangat terbuka terhadap interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu menyesatkan. Itulah al-Quran, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia menafsirkannya.

Al-Farabi ketika menjelaskan tentang wahyu menuliskan bahwa ketika seorang Nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan: Pertama, intelek aktif, yakni satu entitas kosmik yang bertindak sebagai perantara transenden antara Tuhan dan manusia. Kedua, adalah intelek perolehan (al-aql al-mustafad) yang diperoleh Nabi hanya jika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Dalam persenyawaan ini, tulis Osman Bakar, intelek perolehan menerima pengetahuan transenden dari intelek aktif. Ketiga, adalah intelek pasif (al-aql al-munfail) yang merupakan kondisi intelek penerimaan wahyu secara umum. Wahyu yang diterima oleh para Nabi, menurut Abdul Kalam Azad, bukanlah sesuatu yang baru, melainkan pesan-pesan yang pernah diberikan kepada para Nabi pendahulunya.

Muhammad, tulis Azad, tidak datang dengan pesan-pesan baru, melainkan dengan pesan-pesan yang sama seperti yang pernah diterima oleh Nabi Adam, Nuh, Yakub, Ismail, Yusuf, Sulaiman, Daud, Musa, Isa dan Nabi-nabi lain yang diutus di seantero dunia ini. Meskipun ada di antara Nabi-nabi itu yang disebutkan dalam al-Quran dan tidak, tetapi pesan yang mereka bawa adalah sama, yakni kepercayaan kepada Tuhan dan melakukan kebaikan (maruf) serta menghindari kemungkaran (munkar) dan agama adalah jalan yang tepat untuk menuju semuanya. Tesis Azad ini, mengingatkan kepada konsep kekekalan ide dalam filsafat.

Bahwa konsep-konsep filosofis yang pernah digagas oleh Aristoteles, misalnya, memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam tradisi pemikiran umat Islam. Para filosof Muslim yang menganggap Aristoteles sebagai "guru pertama" (al-muallim al-awwal) menunjukkan pengaruhnya yang besar kepada jalan pikiran para filosof Muslim (Nurcholish, 2000: 226). Kuatnya pengaruh Aristoteles dalam tradisi pemikiran filosof muslim itu makin tegas ketika, Al-Farabi dikukuhkan sebagai "guru kedua" (al-muallim al-tsani) setelah Aristoteles.

Dengan demikian, wahyu sebagai guidance bagi umat beragama dalam kehidupannya harus selalu terbuka terhadap intervensi kemanusiaan dan penjelasan akal. Tradisi hermeneutika sebenarnya lahir untuk menjembatani manusia membongkar dimensi-dimensi filosofis yang terkandung dalam wahyu. Wahyu tidak tertutup bagi penjelasan-penjelasan filosofis yang memihak manusia, justru akan menjadi persoalan ketika penjelasan filosofis wahyu memenangkan kehendak Tuhan dengan mengabaikan kepentingan kemanusiaan. Walaupun wahyu sering disepadankan dengan agama, dan akal disepandankan dengan filsafat, bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk mempertemukannya.

Dalam hal ini, al-Farabi bahkan meyakini bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenaran atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan- pengetahuan ini disebut dengan filsafat. Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran atas apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka pengetahuan yang dihasilkannya disebut dengan agama.

Tantangan menyelaraskan penafsiran wahyu dengan dinamika zaman yang makin mekanistis ini, jelas, menuntut satu penelusuran serius terhadap dimensi- dimensi filosofis dalam wahyu. Penelusuran inilah yang akan mengantarkan umat Islam memandang adil terhadap wahyu: menjadikan wahyu sebagai pedoman kehidupan beragama, sekaligus sebagai sumber inspirasi pembangunan keilmuan dan peradaban Islam yang saat ini tengah dirindukan kembali kejayaannya. Wallahu alam bi al- Shawwab.


Pengantar Editor

NAMPAKNYA tidak terlalu salah, jika ada pernyataan bahwa agama adalah satu realitas yang sangat kompleks. Artinya, bahwa sepanjang sejarah manusia, agama ternyata telah memainkan peran yang tidak kecil dan sangat beragam. Dalam satu kondisi yang normal, agama adalah satu entitas sosial yang memuat seperangkat nilai moral yang diharapkan akan membingkai kehidupan manusia dengan moralitas, spiritualitas dan lebih dari itu, agama juga menawarkan satu bingkai transendental dalam kehidupan manusia. Tetapi tidak jarang, agama juga lahir dalam satu konteks yang sangat menjemukan, menyeramkan dan bahkan menjadi sumber bencana pada level-level sosiologis, historis dan praksis.

Senyatanya, kondisi semacam ini tidak bisa dihindari. Karena sebagai sebuah entitas sosial, agama selalu mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Agama selalu mengalami tuntutan untuk melakukan social adjustment dengan realitas sosial yang melingkupinya. Karena ketika hal ini tidak dilakukan, maka agama hanya akan menyisakan dongeng, cerita dan mitos-mitos tentang nabi, akhirat, pahala, surga, neraka dan sejenisnya. Sesungguhnya, sesensi agama bukan semata-mata persoalan seperti itu. Justru yang lebih penting adalah bagaimana sebagai sebuah entitas yang dilahirkan oleh konstruk sosial, agama menjadi nilai-nilai yang akrab dengan persoalan sosial dan arus besar yang tengah dihadapi oleh kehidupan manusia pada setiap zamannya.

Disadari atau tidak, tingkat pemahaman keagamaan masyarakat yang rigid dan eksklusif telah melahirkan kesan bahwa, sebagian masyarakat gagal mempersandingkan antara dimensi normatif dalam agama dengan dimensi empirisnya. Kegagalan inilah yang sebenarnya menjadi awal bagi lahirnya ketimpangan-ketimpangan sosial yang, oleh sebagian ilmuwan sosial, dianggap sebagai bersumber dari atau berkedok wajah agama.

Buku ini bermaksud menyajikan satu antologi teoretis yang memotret pergumulan agama dengan realitas sosial. Berangkat dari asumsi bahwa, modernisme telah melahirkan banyak tuntutan baru bagi agama untuk melakukan redefinisi agama atau lebih spesifik peran agama, terutama dalam kaitannya dengan respon agama terhadap narasi-narasi besar seperti pluralisme, feminisme atau bahkan sekularisme dan atau sekularisasi.

Perbincangan tentang pluralisme, tulis Amin Abdullah, adalah setua usia manusia. Artinya, ketika manusia lahir, ketika itu pula pluralisme secara intrinsik menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika kehidupannya. Hanya sayang, hal itu tidak secara otomatis menjadi jaminan bahwa manusia mampu memahami secara hollistik pluralisme itu. Akibatnya, pluralisme yang idealnya menjadi suatu hal yang mempermudah kehidupan manusia, justru tidak jarang menjadi halangan serius untuk menciptakan harmoni kehidupan. Terlebih-lebih jika dihubungkan dengan pluralisme agama.
Hadirnya tokoh-tokoh pluralis dari berbagai agama yang berusaha untuk melakukan interpretasi atas Kitab Suci, tidak serta merta mampu mengubah apa yang tengah berlangsung di kalangan masyarakat penganut agama yang umumnya meyakini dan menjalankan seluruh ajaran agamanya secara dogmatis dan kukuh, yang lebih jauh justru akan menimbulkan sikap truth claim dalam diri tiap-tiap umat beragama. Inilah persoalannya, para penganut ajaran agama, kadang-kadang tidak bisa membedakan, antara doktrin yang bersifat normatif dan penafsiran manusia atas doktrin normatif itu yang biasanya dibingkai oleh kepentingan kultural-sosiologis-politis. Dalam bahasa sosiologi, lahirnya penafsiran atas Kitab Suci itu sepenuhnya bersifat socially constructed.

Penafsiran-penafsiran atas Kitab Suci dan teori-teori yang dikembangkan oleh para pemikir pluralis, atau bahkan pemikirnya sendiri, dapat disebut sebagai sebuah teks. Di luar itu semua, terdapat suatu kondisi di mana, pluralisme mendapatkan tantangan yang serius. Inilah yang disebut sebagai realitas. Artinya, jika ditarik pada tataran yang lebih filosofis, pluralisme yang menjadi perbincangan sepanjang usia manusia itu, akan selalu memunculkan hal yang tidak sejalan antara teks dan realitas. Teks adalah ukuran-ukuran ideal yang ingin dicapai dan dikembangkan, yang selalu menggunakan parameter-parameter ilmiah-filosofis. Tetapi, teks yang sangat ideal itu, kadang-kadang bertentangan, atau setidak-tidaknya, tidak sejalan dengan realitas yang biasanya bersifat aktual-sosiologis. Dalam hubungannya dengan umat beragama, teks yang dimaksud tentu saja Kitab Suci masing-masing agama.

Mohammed Arkoun, meyakini bahwa sebuah Kitab Suci yang lahir dalam suatu kondisi sosiologisnya masing-masing, pada dasarnya memuat pesan yang jauh melampaui teks-teks itu. Karena, dalam pandangan Arkoun, terdapat banyak persoalan yang tidak dapat direpresentasikan oleh struktur linguistik dari bahasa yang dipakai dalam sebuah Kitab Suci. Karenanya, untuk menarik makna sosiologis sebuah Kitab Suci, manusia semestinya bercermin di muka kitab suci itu. Diyakini oleh Arkoun bahwa di muka Kitab Suci manusia akan mendapatkan seribu satu macam bayangan. Artinya, dalam mendekati Kitab Suci itu, bisa saja manusia mendapatkan penafsiran-penafsiran yang tidak sama, betapapun penafsiran yang berbeda itu sebenarnya berasal dari akar dan akan menuju muara yang sama.

Logika yang diturunkan oleh Arkoun itu sebenarnya sangat relevan jika dihadirkan di tengah kondisi saat ini, di mana umat beragama tidak jarang terjebak pada suatu sikap yang sangat kaku dalam meyakini agamanya sendiri, yang dengan sendirinya menganggap tradisi lain sebagai jalan sesat. Padahal jika umat bergama mau --meminjam istilah Arkoun-- bercermin di muka Kitab Suci, niscaya ketegangan seperti akan dapat dihilangkan, atau setidaknya, dapat dieliminasi. Satu hal yang patut dipertimbangkan adalah, ternyata ketegangan-ketegangan dan klaim-klaim atas kebenaran agama masing-masing itu, tidak sepenuhnya bernuansa teologis. Artinya, ketika agama menjadi subordinasi dari suatu sistem sosial dan politik yang melingkarinya, maka klaim-klaim atas kebenaran oleh kalangan umat beragama, merupakan upaya untuk saling berebut pengaruh, yang lebih banyak dilandasi oleh faktor sosial dan politik ketimbang faktor agama. Karena itu, timbulnya gesekan dan benturan di antara umat beragama, bukan disebabkan oleh faktor ajaran agama, tetapi lebih disebabkan oleh ambisi primordial serta latar belakang sosial, ekonomi dan politik mereka.

Karena itu, bercermin di muka Kitab Suci sebenarnya berfungsi bagi umat beragama untuk menemukan titik temu (kalimatun sawa) antara agama-agama yang sering bertikai itu. Dalam tradisi agama-agama Semitik (Abrahamic Religions), titik temu di antara mereka sebenarnya sudah diungkapkan oleh teks-teks suci masing-masing agama. Al-Quran sebagai Kitab Suci termuda di antara ketiga agama Semitik menginformasikan bahwa Nabi Isa mengajak umat Yahudi kepada ajaran agama yang dibawanya, karena ajaran itu merupakan kelanjutan dari ajaran yang pernah dibawakan oleh Nabi Musa. Demikian pula dijelaskan bahwa sepeninggal Isa, akan datang seorang Nabi yang bernama Muhammad, yang juga akan melanjutkan ajaran agama yang dibawa oleh Musa dan Isa. Artinya, ketiga tradisi itu memiliki akar aqidah yang sama.

Demikian pula halnya dengan Injil. Kehadiran Muhammad sebagai penerus kedua tradisi yang lebih tua itu juga diungkapkan di dalamnya. Ketika Muhammad menerima wahyu pertamanya, maka Waraqah ibn Nawfal, seorang Rahib Nasrani, dengan serta merta meyakini bahwa yang datang membawa wahyu itu adalah Jibril dan Muhammad sang penerima wahyu itu adalah, nabi terakhir yang dimaksudkan oleh Injil.

Ini menjadi bukti bahwa apa yang oleh al-Qur'an disebut sebagai kalimatun sawa itu secara universal termuat dalam tradisi teks-teks suci masing-masing agama Ibrahim itu. Dalam kerangka itu pula, al-Qur'an sering menyebutkan Ibrahim sebagai muslim, dan bukan sebagai Yahudi atau Nasrani. Penyebutan Ibrahim sebagai muslim, sebenarnya tidak merujuk kepada Islam sebagaimana yang didefinisikan oleh para teolog dan juris dalam penafsiran mereka terhadap al-Qur'an dan ajaran-ajaran Muhammad. Dalam konteks ini, muslim merujuk kepada sebuah sikap religius yang ideal yang disimbolkan oleh perilaku Ibrahim yang sejalan dengan perjanjian yang dijelaskan dalam Bibel dan al-Qur'an. Dan karena alasan yang sangat fundamental inilah, maka Ibrahim disebut sebagai Bapak Orang-orang Yang Beriman.

Wacana tentang pluralisme agama bisa dibilang sebagai sesuatu yang baru. Meskipun begitu, signifikansinya mulai dirasakan oleh banyak kalangan. Dorongan mendasar yang melatarbelakangi hadirnya wacana ini adalah keprihatinan beberapa kalangan pengkaji agama terhadap paradoks-paradoks yang dilahirkan oleh agama. Mungkin kedengarannya aneh, bahwa agama telah menjadi semacam legitimasi untuk melakukan konflik antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.

Para futurolog pernah meramalkan bahwa paradoks terbesar manusia modern adalah pembelaan yang berlebih-lebihan pada identitas-identitas primordial dan ideologi. Sehingga mereka meyakini bahwa inilah saat yang paling tepat untuk menyatakan matinya ideologi itu. Karena orang rela mati, tega menganiaya sesamanya atau melakukan anarkhisme hanya demi keyakinan dan ideologi itu. Jika itu benar, maka kebenaran ramalan itu harus diperluas pada wilayah-wilayah lain. Tidak hanya ideologi yang telah mati, bahkan agama dan Tuhan pun sebenarnya telah mati karena tak mampu menyelamatkan manusia dari belenggu-belenggu itu.

Sejumlah orang atau sekelompok orang seringkali mengatasnamakan kepentingan agama dan Tuhan, telah melakukan tindakan-tindakan anarkhis yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh agama. Siapapun orangnya, apapun agamanya, dan apapun sukunya, akan sepakat bahwa agama adalah satu jalinan nilai-nilai luhur yang bercita-cita membawa manusia kepada suatu tatanan hidup yang penuh kedamaian dan ketentraman. Tapi, keyakinan itu nampaknya harus segera direvisi. Sebabnya adalah, tiga tahun terakhir, khususnya di Indonesia, agama tak lagi mampu memainkan peran-peran kemanusiaan. Bahkan, ironis, nilai-nilai kemanusiaan yang diidealkan oleh agama itu justru diruntuhkan, bukan oleh kekuatan lain melainkan oleh kekuatan agama sendiri.

Persoalan mendasar yang melahirkan pertentangan dan konflik yang mengatasnamakan agama dan Tuhan itu adalah, karena manusia telah gagal menempatkan normativitas dan historitas agama pada wilayah yang semestinya. Adalah benar bahwa sejarah agama adalah sejarah pergumulan antara historisitas dan normativitas itu. Tetapi mencampuradukkan kedua wilayah ini sebagai wilayah yang tak memiliki batasan masing-masing adalah satu sikap yang tidak benar, dan justru dari situlah umumnya konflik agama lahir.

Prasangka-prasangka teologis yang bersifat normatif, umumnya dengan begitu saja ditarik ke dalam prasangka-prasangka sosiologis yang bersifat dialektis. Agama, semua agama memang telah selesai, tuntas dan sempurna, karena datang dari Tuhan, sehingga tak perlu lagi diperdebatkan. Tetapi agama adalah persoalan kemanusiaan yang dinamis dan relatif, yang karenanya bisa diperdebatkan. Karena itu agama harus selalu diupayakan melakukan negosiasi, dialektika melalui proses dialog kultural maupun politik. Inilah yang akan membantu manusia keluar dari kemelut ambiguitas wilayah normativitas dan historisitas yang terlanjur dicampuradukkan.

Pemahaman yang semacam ini semakin diperparah dengan kebijakan politik masa lalu yang seolah-olah ingin menutup-nutupi pluralisme yang pada dasarnya merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia. Dalam konsepsi Orde Baru, pluralisme itu kemudian dikenal dengan istilah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan). Th Sumartana meyakini, konsep SARA inilah yang sebenarnya membangun nasionalisme Indonesia. Sayangnya, SARA justru dicurigai, dijauhi dan selalu dijadikan kambing hitam atas berbagai peristiwa yang menimbulkan instabilitas bangsa. SARA dianggap sebagai musuh bangsa yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa.

Tanpa disadari, konsepsi dan perlakuan yang tidak benar terhadap SARA ini telah menambah kompleksitas problem ketegangan antaragama. Maka sebuah langkah baru mesti diciptakan untuk menghapus atau setidaknya mengeliminasi problem-problem yang kompleks itu.

Melakukan suatu upaya luhur: mengembalikan agama kepada posisi alamiahnya, sebagai pemersatu, sebagai kekuatan pembentuk perdamaian dunia dan memulai usaha luhur agar agama tak lagi ironis: di satu sisi ia mengajarkan kebaikan, tapi justru karena agama pulalah orang saling berperang dan membunuh.

Kompleksitas persoalan tentang pluralisme itu, ternyata masih harus diperpanjang dengan satu konstruk sosial lain yang menjadi perdebatan hangat adalah apa yang disebut dengan feminisme. Bahwa ada anggapan agama telah menaruh sikap mendua (ambigu) pada wanita. Di satu sisi, agama menaruh penghormatan yang tinggi kepada wanita. Tetapi pada saat yang lain agama juga menempatkan wanita pada posisi yang inferior. Maka lahirnya pemikiran tentang kesetaraan gender antara lain juga disebabkan oleh persoalan ini. Karena itu, maka buku ini menyajikan satu perspektif feminis tentang kajian studi agama.

Ucapan Terima Kasih

Pada akhirnya, saya harus mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang memungkinkan buku ini terbit. Kepada Choirul Umam dan Nafis Irkhami yang telah membantu mempercepat alih bahasa dan pengumpulan naskah yang kemudian menjadi buku ini. Kepada Gandung yang selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikan naskah buku ini. Juga kepada teman-teman di Religion and Social Studies (RėSIST) Malang (Tahid, Zein, Hambali, Khilmi, Shofwan Kunto, Imam, Edi Slamet) yang memberikan media kondusif untuk diskusi, bereksplorasi pemikiran dan bahkan menelurkan pemikiran-pemikiran gila. Kepada teman-teman di DPD IMM Jawa Timur yang telah bersedia menjadi fasilitator penerbitan buku ini. Bahwa usaha seperti ini memang mahal, tapi kita tidak bisa berdiam diri. Juga adik-adik di IMM FAI UMM yang tidak hanya menjadi teman dialog, tetapi juga kawan bercanda yang mengasyikkan. Terakhir, kepada Lailatul Fithriyah Pipit Azzakiyah (Jogja) dan Anton Muhajir (Denpasar) yang selalu menjadi inspirator dan teman dialog di ruang maya tentang ide-ide gila yang mungkin tidak akan pernah kita sepakati secara bulat.

Malang, September 2001
Pradana Boy ZTF

Enter supporting content here